Secara bahasa udhiyah berarti
kambing yang disembelih pada waktu mulai akan siang dan waktu setelah itu. Ada
pula yang memaknakan secara bahasa dengan kambing yang disembelih pada Idul
Adha. Sedangkan menurut istilah syar’i, udhiyah adalah sesuatu yang
disembelih dalam rangka mendekatkan diri pada Allah Ta’ala pada hari nahr
(Idul Adha) dengan syarat-syarat yang khusus.
Istilah qurban lebih umum
dari udhiyah. Qurban adalah segala bentuk pendekatan diri pada
Allah baik berupa penyembelihan atau selainnya. Kaitan udhiyah dan qurban
yaitu keduanya sama-sama bentuk pendekatan diri pada Allah. Jika bentuk qurban
adalah penyembelihan, maka itu lebih erat kaitannya.
Pensyariatan Qurban
Udhiyah (qurban) pada hari nahr
(Idul Adha) disyariatkan berdasarkan beberapa dalil, di antaranya ayat (yang
artinya), “Dirikanlah shalat dan berqurbanlah (an nahr).” (QS. Al
Kautsar: 2). Di antara tafsiran ayat ini adalah “berqurbanlah pada hari raya
Idul Adha (yaumun nahr)”.(Lihat Zaadul Masiir, 9: 249)
Keutamaan Qurban
Tak diragukan lagi, udhiyah adalah
ibadah pada Allah dan pendekatan diri pada-Nya, juga dalam rangka mengikuti
ajaran Nabi kita Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Kaum muslimin
sesudah beliau pun melestarikan ibadah mulia ini. Tidak ragu lagi ibadah ini
adalah bagian dari syari’at Islam. Hukumnya adalah sunnah muakkad (yang amat
dianjurkan) menurut mayoritas ulama. Ada beberapa hadits yang menerangkan
fadhilah atau keutamaannya, namun tidak ada satu pun yang shahih. Ibnul ‘Arobi
dalam ‘Aridhotil Ahwadzi (6: 288) berkata, “Tidak ada hadits shahih yang
menerangkan keutamaan udhiyah. Segelintir orang meriwayatkan beberapa hadits
yang ajiib (yang menakjubkan), namun tidak shahih.” (Lihat Fiqhul Udhiyah, hal.
9)
Ibnul Qayyim berkata, “Penyembelihan
yang dilakukan di waktu mulia lebih afdhol daripada sedekah senilai
penyembelihan tersebut. Oleh karenanya jika seseorang bersedekah untuk
menggantikan kewajiban penyembelihan pada manasik tamattu’ dan qiron meskipun
dengan sedekah yang bernilai berlipat ganda, tentu tidak bisa menyamai
keutamaan udhiyah.”
Hukum Qurban
Hukum qurban adalah sunnah
(dianjurkan, tidak wajib) menurut pendapat jumhur (mayoritas ulama). Dalil yang
mendukung pendapat jumhur adalah hadits dari Ummu Salamah, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika telah masuk 10 hari pertama dari
Dzulhijjah dan salah seorang di antara kalian berkeinginan untuk berqurban,
maka janganlah ia menyentuh (memotong) rambut kepala dan rambut badannya
(diartikan oleh sebagian ulama: kuku) sedikit pun juga.” (HR. Muslim). Imam
Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini adalah dalil
bahwasanya hukum udhiyah tidaklah wajib karena Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian ingin menyembelih qurban …”.
Seandainya menyembelih udhiyah itu wajib, beliau akan bersabda, “Janganlah
memotong rambut badannya hingga ia berqurban (tanpa didahului dengan kata-kata:
Jika kalian ingin …, pen)”.” (Disebutkan oleh Al Baihaqi dalam Al Kubro).
Dari Abu Suraihah, ia berkata, “Aku
pernah melihat Abu Bakr dan ‘Umar tidak berqurban.” (HR. Abdur Rozaq). Ibnu
Juraij berkata bahwa beliau berkata kepada ‘Atho’, “Apakah menyembelih qurban
itu wajib bagi manusia?” Ia menjawab, “Tidak. Namun Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah berqurban.” (HR. Abdur Rozaq)
Niatan Qurban untuk Mayit
Para ulama berselisih pendapat
mengenai kesahan qurban untuk mayit jika bukan karena wasiat. Dalam madzhab
Syafi’i, qurbannya tidak sah kecuali jika ada wasiat dari mayit. Imam Nawawi rahimahullah
berkata dalam Al Minhaj, “Tidak sah qurban untuk orang lain selain
dengan izinnya. Tidak sah pula qurban untuk mayit jika ia tidak memberi wasiat
untuk qurban tersebut.”
Yang masih dibolehkan adalah
berqurban untuk mayit namun sebagai ikutan. Misalnya seseorang berqurban untuk
dirinya dan keluarganya termasuk yang masih hidup atau yang telah meninggal dunia.
Dasarnya adalah karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
berqurban untuk dirinya dan keluarganya, termasuk di dalamnya yang telah
meninggal dunia. (Lihat Talkhish Kitab Ahkamil Udhiyah wadz Dzakaah, Syaikh
Ibnu Utsaimin, hal. 12-13)
Waktu Penyembelihan Qurban
Dari Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang menyembelih qurban sebelum shalat (Idul Adha), maka ia
berarti menyembelih untuk dirinya sendiri. Barangsiapa yang menyembelih setelah
shalat (Idul Adha), maka ia telah menyempurnakan manasiknya dan ia telah
melakukan sunnah kaum muslimin.” (HR. Bukhari)
Sedangkan mengenai waktu akhir dari
penyembelihan qurban, Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah menjelaskan,
“Yang hati-hati bagi seseorang muslim bagi agamanya adalah melaksanakan
penyembelihan qurban pada hari Idul Adha (10 Dzulhijjah) sebagaimana yang
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan dan hal ini lebih
selamat dari perselisihan para ulama yang ada. Jika sulit melakukan pada waktu
tersebut, maka boleh melakukannya pada 11 dan 12 Dzulhijjah sebagaimana
pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Wallahu a’lam.” Sedangkan yang
menyatakan bahwa waktu penyembelihan pada seluruh hari tasyriq (11, 12, dan 13
Dzulhijjah) dibangun di atas riwayat yang dho’if. (Lihat Fiqhul Udhiyah,
hal. 119)
Pembagian Sepertiga dari
Hasil Qurban
Hasil sembelihan qurban dianjurkan
dimakan oleh shohibul qurban. Sebagian lainnya diberikan kepada faqir miskin
untuk memenuhi kebutuhan mereka pada hari itu. Sebagian lagi diberikan kepada
kerabat agar lebih mempererat tali silaturahmi. Sebagian lagi diberikan pada
tetangga dalam rangka berbuat baik. Juga sebagian lagi diberikan pada saudara
muslim lainnya agar semakin memperkuat ukhuwah.” (Fatwa Al Lajnah Ad Daimah no.
5612, 11: 423-424)
Adapun daging hasil sembelihan
qurban, maka lebih utama sepertiganya dimakan oleh shohibul qurban;
sepertiganya lagi dihadiahkan pada kerabat, tetangga, dan sahabat dekat; serta
sepertiganya lagi disedekahkan kepada fakir miskin. Namun jika lebih/ kurang
dari sepertiga atau diserahkan pada sebagian orang tanpa lainnya (misalnya
hanya diberikan pada orang miskin saja tanpa yang lainnya, pen), maka itu juga
tetap diperbolehkan. Dalam masalah ini ada kelonggaran.” (Fatawa Al Lajnah Ad
Da-imah no. 1997, 11: 424-425)
Ketentuan Hewan Qurban
Hewan yang digunakan untuk qurban
adalah unta, sapi (termasuk kerbau), dan kambing.
Seekor kambing hanya untuk qurban
satu orang dan boleh pahalanya diniatkan untuk seluruh anggota keluarga
meskipun jumlahnya banyak atau bahkan yang sudah meninggal dunia. Seekor sapi
boleh dijadikan qurban untuk 7 orang. Sedangkan seekor unta untuk 10 orang
(atau 7 orang menurut pendapat yang lainnya).
Sedangkan ketentuan umur yang mesti
diperhatikan: (1) unta, umur minimal 5 tahun; (2) sapi, umur minimal 2
tahun, (3) kambing, umur minimal 1 tahun, (4) domba jadza’ah, umur minimal 6
bulan.
Yang paling dianjurkan sebagai hewan
qurban adalah: (1) yang paling gemuk dan sempurna, (2) hewan qurban yang lebih
utama adalah unta, kemudian sapi, kemudian kambing, namun satu ekor kambing
lebih baik daripada kolektif dalam sapi atau unta, (4) warna yang paling utama
adalah putih polos, kemudian warna debu (abu-abu), kemudian warna hitam, (5)
berkurban dengan hewan jantan lebih utama dari hewan betina.
Cacat hewan qurban dibagi menjadi 3:
1- Cacat yang menyebabkan tidak sah
untuk berqurban, ada 4:
- Buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya
- Sakit dan tampak jelas sakitnya
- Pincang dan tampak jelas pincangnya
- Sangat tua sampai-sampai tidak punya sumsum tulang
2- Cacat yang menyebabkan makruh
untuk berqurban, ada 2:
- Sebagian atau keseluruhan telinganya terpotong
- Tanduknya pecah atau patah
3. Cacat yang tidak berpengaruh pada
hewan qurban (boleh dijadikan untuk qurban) namun kurang sempurna.
Selain 6 jenis cacat di atas atau
cacat yang tidak lebih parah dari itu maka tidak berpengaruh pada status hewan
qurban. Misalnya tidak bergigi (ompong), tidak berekor, bunting, atau tidak
berhidung. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2: 370-375)
Tuntunan Penyembelihan
Qurban
1- Syarat hewan qurban, Yaitu hewan
tersebut masih dalam keadaan hidup ketika penyembelihan, bukan dalam keadaan
bangkai (sudah mati).
2- Syarat orang yang akan
menyembelih: (1) berakal, baik laki-laki maupun perempuan, sudah baligh atau
belum baligh asalkan sudah tamyiz, (2) yang menyembelih adalah seorang muslim
atau ahli kitab (Yahudi atau Nashrani), (3) menyebut nama Allah ketika
menyembelih.
Perhatian: Sembelihan ahlul kitab
bisa halal selama diketahui kalau mereka tidak menyebut nama selain Allah. Jika
diketahui mereka menyebut nama selain Allah ketika menyembelih, semisal mereka
menyembelih atas nama Isa Al Masih, ‘Udzair atau berhala, maka pada saat ini
sembelihan mereka menjadi tidak halal.
3- Syarat alat untuk menyembelih:
(1) menggunakan alat pemotong, baik dari besi atau selainnya, baik tajam atau
tumpul asalkan bisa memotong, (2) tidak menggunakan tulang dan kuku.
4- Adab dalam penyembelihan hewan:
(1) berbuat baik terhadap hewan, (2) membaringkan hewan di sisi sebelah kiri,
memegang pisau dengan tangan kanan dan menahan kepala hewan ketika menyembelih,
(3) meletakkan kaki di sisi leher hewan, (4) menghadapkan hewan ke arah kiblat,
(5) mengucapkan tasmiyah (basmalah) dan takbir.
Ketika akan menyembelih
disyari’atkan membaca “bismillaahi wallaahu akbar, hadza minka wa
laka” atau ”hadza minka wa laka ’annii atau ’an fulan (disebutkan nama
shahibul qurban)” atau berdoa agar Allah menerima qurbannya dengan
doa, ”Allahumma taqabbal minnii (Semoga Allah menerima qurbanku) atau min
fulan (disebutkan nama shahibul qurban).
Sudah Berqurban Kok Malah
Dijual?
Ketika Imam Ahmad di tanya tentang
orang yang menjual daging qurban, ia terperanjat, seraya berkata, “Subhanallah,
bagaimana dia berani menjualnya padahal hewan tersebut telah ia persembahkan
untuk Allah tabaraka wa taala”.
Secara logika suatu barang yang
telah anda berikan kepada orang lain bagaimana mungkin anda menjualnya lagi.
Imam Syafi’i juga berkata,” Jika ada
yang bertanya kenapa dilarang menjual daging qurban padahal boleh dimakan?
Jawabnya, hewan qurban adalah persembahan untuk Allah. Setelah hewan itu
dipersembahkan untukNya, manusia pemilik hewan tidak punya wewenang apapun atas
hewan tersebut, karena telah menjadi milik Allah. Maka Allah hanya mengizinkan
daging hewan untuk dimakan. Maka hukum menjualnya tetap dilarang karena hewan
itu bukan lagi menjadi milik yang berqurban”. Oleh karena itu para ulama
melarang menjual bagian apapun dari hewan qurban yang telah disembelih; daging,
kulit, kikil, gajih, kepala dan anggota tubuh lainnya. Mereka melarangnya
berdasarkan dalil, di antaranya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang
siapa yang menjual kulit hewan qurbannya maka qurbannya tidak diterima.”
(HR. Hakim dan Baihaqi, shahih)
Hadis di atas sangat tegas melarang
untuk menjual qurban sekalipun kulitnya karena berakibat kepada tidak
diterimanya qurban dari pemilik hewan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
bersabda, “Janganlah kalian jual daging hewan hadyu (hewan yang dibawa
oleh orang yang haji ke Mekkah untuk disembelih di tanah haram), juga jangan
dijual daging qurban. Makanlah dan sedekahkanlah serta pergunakan kulitnya.”
(HR. Ahmad, mursal shahih sanad). Hadits ini juga tegas melarang menjual daging
hewan qurban.
Ali bin Abi Thalib berkata, “Nabi
memerintahkanku untuk menyembelih unta hewan qurban miliknya, dan Nabi
memerintahkan agar aku tidak memberi apapun kepada tukang potong sebagai upah
pemotongan”. (HR. Bukhari). Hadits ini juga menunjukkan bahwa tidak boleh
diberikan bagian apapun dari anggota tubuh hewan qurban kepada tukang potong
sebagai imbalan atas kerjanya memotong hewan. Bila saja upah tukang potong
tidak boleh diambilkan dari hewan qurban apatah lagi menjualnya kepada orang
lain.
Begitu juga orang yang bekerja
sebagai panitia qurban tidak boleh mengambil upah dari hewan qurban. Bila
menginginkah upah mengurus qurban mintalah kepada pemilik qurban berupa uang.
Semoga bermanfaat. Wallahu
waliyyut taufiq. [Muhammad Abduh Tuasikal, Riyadh-KSA, 2 Dzulqo’dah 1433
H]
www.rumaysho.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar