I’tikaf, secara bahasa, berarti tinggal di suatu tempat untuk 
melakukan sesuatu yang baik. Jadi, i’tikaf adalah tinggal atau menetap 
di dalam masjid dengan niat beribadah untuk mendekatkan diri kepada 
Allah swt. Beri’tikaf bisa dilakukan kapan saja. Namun, Rasulullah saw. 
sangat menganjurkan di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Inilah 
waktu yang baik bagi kita untuk bermuhasabah dan taqarub secara penuh 
kepada Allah swt. guna mengingat kembali tujuan diciptakannya kita 
sebagai manusia. “Sesungguhnya tidak Aku ciptakan jin dan manusia 
kecuali untuk beribadah kepadaKu,” begitu firman Allah di QS. Az-Zariyat
 (51): 56.
Para ulama sepakat bahwa i’tikaf, khususnya 10 hari 
terakhir di bulan Ramadhan, adalah ibadah yang disunnahkan oleh 
Rasulullah saw. Beliau sendiri melakukanya 10 hari penuh di bulan 
Ramadhan. Aisyah, Umar bin Khattab, dan Anas bin Malik menegaskan hal 
itu, “Adalah Rasulullah saw. beri’tikaf pada 10 hari terakhir di bulan 
Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Bahkan, pada tahun wafatnya 
Rasulullah saw. beri’tikaf selama 20 hari. Para sahabat, bahkan 
istri-istri Rasulullah saw., selalu melaksanakan ibadah ini. Sehingga 
Imam Ahmad berkata, “Sepengetahuan saya tak seorang ulama pun mengatakan
 i’tikaf bukan sunnah.”
“I’tikaf disyariatkan dengan tujuan agar 
hati beri’tikaf dan bersimpuh di hadapan Allah, berkhalwat dengan-Nya, 
serta memutuskan hubungan sementara dengan sesama makhluk dan 
berkonsentrasi sepenuhnya kepada Allah,” begitu kata Ibnu Qayyim.
Itulah
 urgensi i’tikaf. Ruh kita memerlukan waktu berhenti sejenak untuk 
disucikan. Hati kita butuh waktu khusus untuk bisa berkonsentrasi secara
 penuh beribadah dan bertaqarub kepada Allah saw. Kita perlu menjauh 
dari rutinitas kehidupan dunia untuk mendekatkan diri seutuhnya kepada 
Allah saw., bermunajat dalam doa dan istighfar serta membulatkan iltizam
 dengan syariat sehingga ketika kembali beraktivitas sehari-hari kita 
menjadi manusia baru yang lebih bernilai.
I’tikaf yang disyariatkan ada dua macam, yaitu:
1.
      I’tikaf sunnah, yaitu i’tikaf yang dilakukan secara sukarela 
semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Alah. Contohnya i’tikaf 10 
hari di akhir bulan Ramadhan.
2.      I’tikaf wajib, yaitu i’tikaf yang didahului oleh nadzar.
 Seseorang yang berjanji, “Jika Allah swt. menakdirkan saya mendapat 
proyek itu, saya akan i’tikaf di masjid 3 hari,” maka i’tikaf-nya 
menjadi wajib.
Karena itu, berapa lama waktu beri’tikaf, ya 
tergantung macam i’tikafnya. Jika i’tikaf wajib, ya sebanyak waktu yang 
diperjanjikan. Sedangkan untuk i’tikaf sunnah, tidak ada batas waktu 
tertentu. Kapan saja. Bisa malam, bisa siang. Bisa lama, bisa sebentar. 
Seminimal-minimalnya adalah sekejab. Menurut mazhab Hanafi, sekejab 
tanpa batas waktu tertentu, sekedar berdiam diri dengan niat. Menurut 
mazhab Syafi’i, sesaat, sejenak berdiam diri. Dan menurut mazhab 
Hambali, satu jam saja. Tetapi i’tikaf di bulan Ramadhan yang 
dicontohkan Rasulullah saw. adalah selama 10 hari penuh di 10 hari 
terakhir.
Syarat dan Rukun I’tikaf
Ada tiga syarat orang yang beri’tikaf, yaitu muslim, berakal, dan suci dari janabah, haid dan nifas. Artinya, i’tikaf tidak sah jika dilakukan oleh orang kafir, anak yang belum bisa membedakan (mumayiz), orang yang junub, wanita haid dan nifas.
Sedangkan
 rukunya ada dua, yaitu, pertama, niat yang ikhlas. Sebab, semua amal 
sangat tergantung pada niatnya. Kedua, berdiam di masjid. Dalilnya QS. 
Al-Baqarah (2): 187, “Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) 
malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu sedang kamu beri’tikaf
 di masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. 
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada manusia supaya mereka 
bertakwa.”
Masjid yang mana? Imam Malik membolehkan i’tikaf di 
setiap masjid. Sedangkan Imam Hanbali membatasi hanya di masjid yang 
dipakai untuk shalat berjama’ah atau shalat jum’at. Alasannya, ini agar 
orang yang beri’tikaf bisa selalu shalat berjama’ah dan tidak perlu 
meninggalkan tempat i’tikaf menuju ke masjid lain untuk shalat 
berjama’ah atau shalat jum’at. Pendapat ini diperkuat oleh ulama dari 
kalangan Syafi’i. Alasannya, Rasulullah saw. beri’tikaf di masjid jami’.
 Bahkan kalau kita punya rezeki, lebih utama kita melakukannya di Masjid
 Haram, Masjid Nabawi, atau di Masjid Aqsha.
Rasulullah memulai 
i’tikaf dengan masuk ke masjid sebelum matahari terbenam memasuki malam 
ke-21. Ini sesuai dengan sabdanya, “Barangsiapa yang ingin i’tikaf 
denganku, hendaklah ia i’tikaf pada 10 hari terakhir.”
I’tikaf 
selesai setelah matahari terbenam di hari terakhir bulan Ramadhan. 
Tetapi, beberapa kalangan ulama lebih menyukai menunggu hingga 
dilaksanakannya shalat Ied.
Ketika Anda i’tikaf, ada hal-hal 
sunnah yang bisa Anda laksanakan. Perbanyaklah ibadah dan taqarub kepada
 Allah. Misalnya, shalat sunnah, tilawah, bertasbih, tahmid, dan tahlil.
 Beristighfar yang banyak, bershalawat kepada Rasulullah saw., dan 
berdoa. Sampai-sampai Imam Malik meninggalkan aktivitas ilmiahnya. 
Beliau memprioritaskan menunaikan ibadah mahdhah dalam i’tikafnya.
Meski
 begitu, orang yang beri’tikaf bukan berarti tidak boleh melakukan 
aktivitas keduniaan. Rasulullah saw. pernah keluar dari tempat i’tikaf 
karena mengantar istrinya, Shafiyah, ke suatu tempat. Orang yang 
beri’tikaf juga boleh keluar masjid untuk keperluan yang diperlukan 
seperti buang hajat, makan, minum, dan semua kegiatan yang tidak mungkin
 dilakukan di dalam masjid. Tapi setelah selesai urutan itu, segera 
kembali ke masjid. Orang yang beri’tikaf juga boleh menyisir, bercukur, 
memotong kuku, membersihkan diri dari kotoran dan bau. Bahkan, 
membersihkan masjid. Masjid harus dijaga kebersihan dan kesuciannya 
ketika orang-orang yang beri’tikaf makan, minum, dan tidur di masjid.
I’tikaf
 dikatakan batal jika orang yang beri’tikaf meninggalkan masjid dengan 
sengaja tanpa keperluan, meski sebentar. Sebab, ia telah mengabaikan 
satu rukun, yaitu berdiam di masjid. Atau, orang yang beri’tikaf murtad,
 hilang akal karena gila atau mabuk. I’tikaf juga batal jika wanita yang
 beri’tikaf haid atau nifas. I’tikaf juga batal kalau yang melakukannya 
berjima’ dengan istrinya. Begitu juga kalau ia pergi shalat Jum’at ke 
masjid lain karena tempatnya beri’tikaf tidak dipakai untuk melaksanakan
 shalat jum’at.
I’tikaf bagi muslimah
I’tikaf
 disunnahkan bagi pria, begitu juga wanita. Tapi, bagi wanita ada syarat
 tambahan selain syarat-syarat secara umum di atas, yaitu, pertama, 
harus mendapat izin suami atau orang tua. Apabila izin telah 
dikeluarkan, tidak boleh ditarik lagi.
Kedua, tempat dan 
pelaksanaan i’tikaf wanita sesuai dengan tujuan syariah. Para ulama 
berbeda pendapat tentang masjid untuk i’tikaf kaum wanita. Tapi, 
sebagian menganggap afdhal jika wanita beri’tikaf di masjid tempat 
shalat di rumahnya. Tapi, jika ia akan mendapat manfaat yang banyak 
dengan i’tikaf di masjid, ya tidak masalah.
Terakhir, agar i’tikaf
 kita berhasil memperkokoh keislaman dan ketakwaan kita, tidak ada 
salahnya jika dalam beri’tikaf kita dibimbing oleh orang-orang yang ahli
 dan mampu mengarahkan kita dalam membersihkan diri dari dosa dan cela.
Contoh Agenda I’tikaf
Magrib: ifthar dan shalat magrib
Isya:
 Shalat Isya dan tarawih berjamaah, ceramah tarawih, tadarus Al-Qur’an, 
dan kajian akhlak. Tidur hingga jam 02.00. Qiyamullail, muhasabah, 
dzikir, dan doa. Sahur.
Subuh: shalat Subuh, dzikir dengan bacaan-bacaan yang ma’tsur (al-ma’tsurat), tadarus Al-Qur’an.
Pagi: istirahat, mandi, cuci, dan melaksanakan hajat yang lain.
Dhuha: shalat Dhuha, tadzkiyatun nafs, dan kuliah dhuha.
Zhuhur: shalat Zhuhur, kuliah zhuhur, dan tahsin tilawah.
Ashar: shalat Ashar dan kuliah ashar, dzikir dengan bacaan-bacaa yang ma’tsur (al-ma’tsurat).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar