Senin, 03 April 2017

(Opini) Ketika Penyuluh "Satu Keluarga" dengan KUA

Thobib Al Asyhar
Bukan rahasia lagi kalau Penyuluh Agama Islam (PAI) sebelum terbit PMA Nomor 34 Tahun 2016 merasakan kegalauan. Mereka merasa kurang nyaman, kurang mendapat tempat di lingkungan KUA. Ada yang bilang seperti anak tiri yang tidak diinginkan. Secara lahir hidup bersama, tetapi secara batin terpisah. Berkantor di KUA dengan wilayah kerja kecamatan, tapi seluruh pertanggungjawaban tugas dan fungsinya kepada Kasi Bimas Islam Kemenag Kabupaten/Kota, bukan kepada Kepala KUA secara langsung. Akibatnya, banyak penyuluh yang merasa tidak maksimal mengartikulasikan potensi dirinya.

Fasilitas yang diberikan negara kepada penyuluh dan penghulu juga berbeda, meski keduanya sama-sama pemangku jabatan fungsional yang berkantor di KUA. Selain mendapat uang transport, penghulu juga disangoni sebagai imbal jasa profesi saat memberikan layanan pencatatan dan khutbah nikah di luar kantor jam kerja.