 |
Thobib
Al Asyhar |
Bukan rahasia lagi kalau Penyuluh Agama Islam (PAI)
sebelum terbit PMA Nomor 34 Tahun 2016 merasakan kegalauan. Mereka
merasa kurang nyaman, kurang mendapat tempat di lingkungan KUA. Ada yang
bilang seperti anak tiri yang tidak diinginkan. Secara lahir hidup
bersama, tetapi secara batin terpisah. Berkantor di KUA dengan wilayah
kerja kecamatan, tapi seluruh pertanggungjawaban tugas dan fungsinya
kepada Kasi Bimas Islam Kemenag Kabupaten/Kota, bukan kepada Kepala KUA
secara langsung. Akibatnya, banyak penyuluh yang merasa tidak maksimal
mengartikulasikan potensi dirinya.
Fasilitas yang diberikan negara
kepada penyuluh dan penghulu juga berbeda, meski keduanya sama-sama
pemangku jabatan fungsional yang berkantor di KUA. Selain mendapat uang
transport, penghulu juga disangoni sebagai imbal jasa profesi saat
memberikan layanan pencatatan dan khutbah nikah di luar kantor jam
kerja.